Selasa, 31 Januari 2012

PANDANGAN FIQH MUAMALAH DAN EKONOMI ISLAM TERHADAP RIBA DAN BUNGA BANK

I.   LATAR BELAKANG
Sejak dekade 1960-an, perbincangan mengenai larangan riba bunga bank semakin memanas saja. Setidaknya ada dua pendapat mendasar yang membahas masalah tentang riba. Pendapat pertama berasal dari mayoritas ulama yang mengadopsi dan intrepertasi para fuqaha tentang riba sebagaimana yang tertuang dalam fiqh. Pendapat lainnya mengatakan, bahwa larangan riba dipahami sebagai sesuatu yang berhubungan dengan adanya upaya eksploitasi, yang secara ekonomis menimbulkan dampak yang sangat merugikan bagi masyarakat. Kontroversi bunga bank konvensional masih mewarnai wacana yang hidup di masyarakat. Dikarenakan bunga yang diberikan oleh bank konvensional merupakan sesuatu yang diharamkan dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah jelas mengeluarkan fatwa tentang bunga bank pada tahun 2003 lalu. Namun, wacana ini masih saja membumi ditelinga kita, dikarenakan beragam argumentasi yang dikemukakan untuk menghalalkan bunga, bahwa bunga tidak sama dengan riba. Walaupun Al-Quran dan Hadits sudah sangat jelas bahwa bunga itu riba. Dan riba hukumnya adalah haram.
Untuk mendudukan kontroversi bunga bank dan riba secara tepat diperlukan pemahaman yang mendalam baik tentang seluk beluk bunga maupun dari akibat yang ditimbulkan oleh dibiarkannya berlaku sistim bunga dalam perekonomian dan dengan membaca tanda-tanda serta arah yang dimaksud dengan riba dalam Al Qur’an dan Hadist.
Oleh karena itu, saya sebagai penulis mencoba menjelaskan apakah sama anatar riba dan bunga banak dalam pandangan fiqh muamalah dan ekonomi Islam. Oleh karena itu, untuk membuktikannya penulis mencoba meneliti dan memaprkannya dalam esai ini.
II.  PERUMUSAN MASALAH
Dengan melihat latar belakang yang telah dikemukakan, maka beberapa pokok masalah yang dapat penulis rumuskan dan akan dibahas dalam karya tulis ilmiah ini adalah
1.      Bagaimana pengertian riba dan bunga bank?
2.      Apakah sama riba dan bunga bank dalam pandangan Fiqh Muamalah dan Ekonomi Islam?
3.      Bagaimana hukum riba dan bunga bank menurut pandangan Fiqh Muamalah dan Ekonomi Islam?
4.      Serta apakah dampak dari riba (bunga bank) terhadap kehidupan manusia?

III.  ANALISIS
A.  Pengertian Riba dan Bunga Bank
Menurut The American Heritage DICTIONARY of the English Language : Interest is “A charge for a financial loan, usually a precentage of the amount loaned“. (lihat H. Karnaen A. Perwataatmadja, S.E., MPA).[1]
Bunga adalah sejumlah uang yang dibayar atau untuk penggunaan modal. Jumlah tersebut misalnya dinyatakan dengan satu tingkat atau prosentase modal yang bersangkut paut dengan itu yang dinamakan suku bunga modal.
Asal makna “riba” menurut bahasa Arab ialah lebih (bertambah). Adapun yang dimaksud disini menurut syara’ riba adalah akad yang terjai dengan penukaran yang tertentu, tidak diketahui sama atau tidaknya menurut aturan syara’ atau terlambat menerimanya.[2]
Istilah riba pertama kalinya di ketahui berdasarkan wahyu yang diturunkan pada masa awal risalah kenabian dimakkah kemungkinan besar pada tahun IV atau awal hijriah ini berdasarkan pada awal turunya ayat riba[3]. Para mufassir klasik berpendapat, bahwa makna riba disini adalah pemberian. Berdasarkan interpretasi ini, menurut Azhari (w. 370H/980 M) dan Ibnu Mansur (w. 711H/1331M) riba terdiri dari dua bentuk yaitu riba yang dilarang dan yang tidak dilarang[4]. Namun dalam kenyataannya istilah Riba hanya dipakai untuk memaknai pembebanan hutang atas nilai pokok yang dipinjamkan[5].
Sedangkan dalam istilah al-Jurjani mendefinisikan riba dengan kelebihan/tambahan pembayaran tanpa ada ganti/imbalan, yang disyaratkan bagi salah seorang dari kedua belah pihak yang membuat akad/transaksi[6].
Ada beberapa pendapat diatas dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam.
Mengenai hal ini Allah SWT mengingatkan dalam firmannya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan bathil” (Q.S An-Nisa : 29). Dalam kaitannya dengan ayat tersebut diatas mengenai makna al-bathil, Ibnu Al-Arabi Al-Maliki, dalam kitabnya Ahkam Al-Qur’an (lihat syafii Anotonio), menjelaskan : bahwa pengertian riba secara bahasa adalah tambahan (Ziyadah), namun yang dimaksud riba dalam ayat Al-Qur’an yaitu setiap penambahan yang diambil tanpa adanya satu transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan syariah”[7]
Yang dimaksud dengan transaksi pengganti atau penyeimbang yaitu transaksi bisnis atau komersial yang melegitimasi adanya penambahan tersebut secara adil. Seperti transaksi jual-beli, gadai, sewa, atau bagi hasil proyek.
Merujuk dari penjelasan tentang pengertian riba dan bunga diatas, bahwa dapat disimpulkan bunga sama dengan riba.[8] Mengapa demikian, dikarenakan secara riil operasional di perbankan konvensional, bunga yang dibayarkan oleh nasabah peminjam kepada pihak atas pinjaman yang dilakukan jelas merupakan tambahan. Karena nasabah melakukan transaksi dengan pihak bank berupa pinjam meminjam berupa uang tunai. Didalam Islam yang namanya konsep pinjam meminjam dikenal dengan namanya Qardh (Qardhul Hasan) merupakan pinjaman kebajikan. Dimana Allah SWT, berfirman :
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.”(Q. S Al-Baqarah : 245)
Pinjaman qardh tidak ada tambahan, jadi seberapa besar yang dipinjam maka dikembalikan sebesar itu juga. Namun, berbeda apabila akad atau transaksi tersebut mengandung jual beli, sewa maupun bagi hasil.
Jadi, Dalam transaksi simpan-pinjam dana, secara konvensional si pemberi pinjaman mengambil tambahan dalam bentuk bunga tanpa adanya suatu penyeimbang yang diterima si peminjam hal ini merupakan riba yang telah diharamkan oleh Allah SWT didalam Al-Qur’an dan Hadist sebagai berikut :
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” Q.S Al-Baqarah : 275 dan juga dalam Hadist Rasulullah bersabda : “Jabir berkata bahwa Rasulullah mengutuk orang yang menerima riba, orang yang membayarnya, dan orang yang mencatatnya, dan dua orang saksinya, kemudian beliau bersabda,Mereka itu semuanya sama.” (H.R Muslim no. 2995 dalam kitab Al-Musaqqah)[9]

B. Hukum Riba dan Bunga Bank
Seluruh ‘ulama sepakat mengenai keharaman riba, baik yang dipungut sedikit maupun banyak. Seseorang tidak boleh menguasai harta riba; dan harta itu harus dikembalikan kepada pemiliknya, jika pemiliknya sudah diketahui, dan ia hanya berhak atas pokok hartanya saja.
Al-Quran dan Sunnah dengan sharih telah menjelaskan keharaman riba dalam berbagai bentuknya; dan seberapun banyak ia dipungut. Allah swt berfirman;
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبا لا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba,” padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”. [QS Al Baqarah (2): 275].[10]
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ، فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُؤُوسُ أَمْوَالِكُمْ لا تَظْلِمُونَ وَلا تُظْلَمُونَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”. [TQS Al Baqarah (2): 279].[11]
Di dalam Sunnah, Nabiyullah Muhammad saw
دِرْهَمُ رِبَا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتٍّ وَثَلَاثِيْنَ زِنْيَةً
“Satu dirham riba yang dimakan seseorang, dan dia mengetahui (bahwa itu adalah riba), maka itu lebih berat daripada enam puluh kali zina”. (HR Ahmad dari Abdullah bin Hanzhalah).
الرِبَا ثَلاثَةٌَ وَسَبْعُوْنَ بَابًا أَيْسَرُهَا مِثْلُ أَنْ يَنْكِحَ الرَّجُلُ أُمَّهُ, وَإِنَّ أَرْبَى الرِّبَا عَرْضُ الرَّجُلِ الْمُسْلِمَ
“Riba itu mempunyai 73 pintu, sedang yang paling ringan seperti seorang laki-laki yang menzinai ibunya, dan sejahat-jahatnya riba adalah mengganggu kehormatan seorang muslim”. (HR Ibn Majah).
لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّباَ وَمُوْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ, وَقَالَ: هُمْ سَوَاءٌ
“Rasulullah saw melaknat orang memakan riba, yang memberi makan riba, penulisnya, dan dua orang saksinya. Belia bersabda; Mereka semua sama”. (HR Muslim)
Di dalam Kitab al-Mughniy, Ibnu Qudamah mengatakan, “Riba diharamkan berdasarkan Kitab, Sunnah, dan Ijma’. Adapun Kitab, pengharamannya didasarkan pada firman Allah swt,”Wa harrama al-riba” (dan Allah swt telah mengharamkan riba) (Al-Baqarah:275) dan ayat-ayat berikutnya. Sedangkan Sunnah; telah diriwayatkan dari Nabi saw bahwasanya beliau bersabda, “Jauhilah oleh kalian 7 perkara yang membinasakan”. Para shahabat bertanya, “Apa itu, Ya Rasulullah?”. Rasulullah saw menjawab, “Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan haq, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari peperangan, menuduh wanita-wanita Mukmin yang baik-baik berbuat zina”. Juga didasarkan pada sebuah riwayat, bahwa Nabi saw telah melaknat orang yang memakan riba, wakil, saksi, dan penulisnya”.[HR. Imam Bukhari dan Muslim]…Dan umat Islam telah berkonsensus mengenai keharaman riba.”
Imam al-Syiraaziy di dalam Kitab al-Muhadzdzab menyatakan; riba merupakan perkara yang diharamkan. Keharamannya didasarkan pada firman Allah swt, “Wa ahall al-Allahu al-bai` wa harrama al-riba” (Allah swt telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba)[Al-Baqarah:275], dan juga firmanNya, “al-ladziina ya`kuluuna al-riba laa yaquumuuna illa yaquumu al-ladziy yatakhabbathuhu al-syaithaan min al-mass” (orang yang memakan riba tidak bisa berdiri, kecuali seperti berdirinya orang yang kerasukan setan)”. [al-Baqarah:275]…..Ibnu Mas’ud meriwayatkan sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah saw melaknat orang yang memakan riba, wakil, saksi, dan penulisnya”. [HR. Imam Bukhari dan Muslim]
Imam al-Shan’aniy di dalam Kitab Subul al-Salaam mengatakan; seluruh umat telah bersepakat atas haramnya riba secara global.
Di dalam Kitab I’aanat al-Thaalibiin disebutkan; riba termasuk dosa besar, bahkan termasuk sebesar-besarnya dosa besar (min akbar al-kabaair). Pasalnya, Rasulullah saw telah melaknat orang yang memakan riba, wakil, saksi, dan penulisnya. Selain itu, Allah swt dan RasulNya telah memaklumkan perang terhadap pelaku riba. Di dalam Kitab al-Nihayah dituturkan bahwasanya dosa riba itu lebih besar dibandingkan dosa zina, mencuri, dan minum khamer. Imam Syarbiniy di dalam Kitab al-Iqna’ juga menyatakan hal yang sama Mohammad bin Ali bin Mohammad al-Syaukaniy menyatakan; kaum Muslim sepakat bahwa riba termasuk dosa besar.
Imam Nawawiy di dalam Syarh Shahih Muslim juga menyatakan bahwa kaum Muslim telah sepakat mengenai keharaman riba jahiliyyah secara global. Mohammad Ali al-Saayis di dalam Tafsiir Ayat Ahkaam menyatakan, telah terjadi kesepakatan atas keharaman riba di dalam dua jenis ini (riba nasii’ah dan riba fadlal). Keharaman riba jenis pertama ditetapkan berdasarkan al-Quran; sedangkan keharaman riba jenis kedua ditetapkan berdasarkan hadits shahih. Abu Ishaq di dalam Kitab al-Mubadda’ menyatakan; keharaman riba telah menjadi konsensus, berdasarkan al-Quran dan Sunnah.[12]
ulama saat ini sesungguhnya telah ijma’ tentang keharaman bunga bank. Dalam puluhan kali konferensi, muktamar, simposium dan seminar, para ahli ekonomi Islam dunia, Chapra menemukan terwujudnya kesepakatan para ulama tentang bunga bank. Artiya tak satupun para pakar yang ahli ekonomi yang mengatakan bunga syubhat atau boleh. Ijma’nya ulama tentang hukum bunga bank dikemukaka Umer Chapra dalam buku The Future of Islamic Econmic,( 2000). Semua mereka mengecam dan mengharamkan bunga, baik konsumtif maupun produktif, baik kecil maupun besar, karena bunga telah menimbulkan dampak sangat buruk bagi perekonomian dunia dan berbagai negara. Krisis ekonomi dunia yang menyengsarakan banyak negara yang terjadi sejak tahun 1930 s/d 2000, adalah bukti paling nyata dari dampak sistem bunga.[13]



C.  Dampak Riba Dan Bunga Bank
1.      Bagi jiwa manusia
hal ini akan menimbulkan perasaan egois pada diri, sehingga tidak mengenal melainkan diri sendiri. Riba ini menghilangkan jiwa kasih sayang, dan rasa kemanusiaan dan sosial. Lebih mementingkan diri sendiri daripada orang lain[14]
2.      Bagi masyarakat
Dalam kehidupan masyarakat hal ini akan menimbulkan kasta kasta yang saling bermusuhan. Sehingga membuat keadaan tidak aman dan tentram. Bukannya kasih sayang dan cinta persaudaraan yang timbul akan tetapi permusuhan dan pertengkaran yang akan tercipta dimasyarakat[15]
3.      Bagi roda pergerakan ekonomi
Dampak sistem ekonomi ribawi tersebut sangat membahayakan perekonomian.
a)      Sistem ekonomi ribawi telah banyak menimbulkan krisis ekonomi di mana-mana sepanjang sejarah, sejak tahun 1929, 1930, 1940an, 1950an, 1970an. 1980an, 1990an, 1997 dan sampai saat ini.
b)      di bawah sistem ekonomi ribawi, kesenjangan pertumbuhan ekonomi masyarakat dunia makin terjadi secara konstant, sehingga yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin.
c)      Suku bunga juga berpengaruh terhadap investasi, produksi dan terciptanya pengangguran.
d)     Teori ekonomi juga mengajarkan bahwa suku bunga akan secara signifikan menimbulkan inflasi.
e)      Sistem ekonomi ribawi juga telah menjerumuskan negara-negara berkembang kepada debt trap (jebakan hutang) yang dalam, sehingga untuk membayar bunga saja mereka kesulitan, apalagi bersama pokoknya.[16]
IV.   KESIMPULAN
Sudah jelaslah bagiamana riba itu dilarang dengan tahapan tahapan yang sama dengan pengharaman arak. Dari uraian diatas dapat penulis ambil kesimpulan bahwa:
1)      Riba dengan kelebihan/tambahan pembayaran tanpa ada ganti/imbalan, yang disyaratkan bagi salah seorang dari kedua belah pihak yang membuat akad/transaksi sedangkan Bunga adalah sejumlah uang yang dibayar atau untuk penggunaan modal. Jumlah tersebut misalnya dinyatakan dengan satu tingkat atau prosentase modal yang bersangkut paut dengan itu yang dinamakan suku bunga modal.
2)      Dalam pandangan Fiqh Muamalah dan Ekonomi Islam bahwa antara riba dan bunga bank adalah sama. Mengapa demikian, dikarenakan secara riil operasional di perbankan konvensional, bunga yang dibayarkan oleh nasabah peminjam kepada pihak atas pinjaman yang dilakukan jelas merupakan tambahan. Karena nasabah melakukan transaksi dengan pihak bank berupa pinjam meminjam berupa uang tunai.
3)      Dalam pandangan Fiqh Muamalah dan Ekonomi Islam bahwa hukum antara riba dan bunga bank adalah haram. Karena hukum asal riba adalah haram baik itu dalam Al-Qur’an, Hadis, dan Ijtihad. Seluruh ummat Islam wajib untuk meninggalkannya, serta menjauhinya yakni dengan cara bertaqwa kepada Allah.
4)      Dampak akan bahayanya riba (bunga bank) terhadap kehidupan manusia; (1). Bagi jiwa manusia : hal ini akan menimbulkan perasaan egois pada diri, sehingga tidak mengenal melainkan diri sendiri. (2).Bagi masyarakat : Dalam kehidupan masyarakat hal ini akan menimbulkan kasta kasta yang saling bermusuhan. (3). Bagi roda pergerakan ekonomi : Dari segi ekonomi, hal ini akan menyebabkan manusia dalam dua golongan besar yaitu orang miskin sebagai pihak yang tertindas dan orang kaya sebagai pihak yang menindas.
DAFTAR PUSTAKA

1.      Abdullah saeed, Bank Islam Dan Bunga, terj Cet 1. Pustaka pelajar. Jakarta 2003
2.      Departemen Agama RI..  Al Qur’an dan Terjemahnya. Bandung. CV. Diponegoro. 2003
3.      KH. Didin Hafidhuddin, Tafsir al-Hijri, det 1. Yayasan Kalimah Thayyibah. Jakarta 2000.
4.      Drs. H. Kahar Masyhur. Beberapa Pendapat Menegenai Riba. Cet 3, Kalam Mulia Jakarta 1999
5.      Prof. Drs. H. Masjfuk Zuhudi, Masail Fiqhiyah. Cet 10, PT gunung agung. Jakarta, 1970
6.      Mudjab mahali. Asbabun Nuzul; Studi Pendalaman al-Qur’an Surat al-Baqarah-An Naas. Cet 1, Raja grafindo. Jakarta, 2002
7.      Muhammad Ali Ash-ashabuni, Tafsir Ayat Ahkam Ash Shabuni, terj. Cet ke-4, PT. Bina ilmu. Surabaya,  2003
8.      Sulaiman Rasjid,  Fiqh Islam, Sinar Baru Algesindo, Bandung, 2002.
9.      http//anakcirenai.blogspot.com/2008/05/makalah-fiqih-tentang-riba-dan-perbankan.html
10.  http//kasei_unri.org/index.php?option=com_conten&task=category&sectiobid=&id=19&itemid=34
  1. http//hndwibowo.blogspot.com/2008/06/bunga-bank-konvensional-adalah-riba.html


[1] hndwibowo.blogspot.com/2008/06/bunga-bank-konvensional-adalah-riba.html
[2] Sulaiman Rasjid, , Fiqh Islam, Sinar Baru Algesindo, Bandung , 2002, Hal 290.
[3]Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, CV. Diponegoro, Bandung , 2003, hal.326
[4] Maksud tidak dilarang disini adalah pemberian yang mengharapkan sesuatu yang lebih baik pada waktu mendatang (akherat)
[5] Abdullah saeed, Op.Cit, Hal 27. Lihat juga pada, Imaduddin Abil Fida Bin Katsir. Tafisr Qurani L Adhiim, hal 138
[6] Prof. Drs. H. Masjfuk Zuhudi, Op.Cit. hal 102
[7] hndwibowo.blogspot.com/2008/06/bunga-bank-konvensional-adalah-riba.html
[8] hndwibowo.blogspot.com/2008/06/bunga-bank-konvensional-adalah-riba.html
[9] hndwibowo.blogspot.com/2008/06/bunga-bank-konvensional-adalah-riba.html
[10] Departemen Agama RI,Al Qur’an dan Terjemahnya, CV. Diponegoro, Bandung , 2003, hal. 36
[11] Ibid hal. 37


[12] http//anakcirenai.blogspot.com/2008/05/makalah-fiqih-tentang-riba-dan-perbankan.html
[13] http//kasei_unri.org/index.php?option=com_conten&task=category&sectiobid=&id=19&itemid=34
[14] KH. Didin Hafidhuddin, Tafsir al-Hijri, Cet 1. Yayasan Kalimah Thayyibah. Jakarta. hal 331
[15] Ibid, hal 332
[16] kasei_unri.org/index.php?option=com_conten&task=category&sectiobid=&id=19&itemid=34
[17] http://mujahidinimeis.wordpress.com/2011/01/24/pandangan-fiqh-muamalah-dan-ekonomi-islam-terhadap-riba-dan-bunga-bank/

AKAD DALAM PERSPEKTIF BISNIS

I.   LATAR BELAKANG
Al Quran sebagai pegangan hidup umat Islam telah mengatur kegiatan bisnis secara eksplisit, dan memandang bisnis sebagai sebuah pekerjaan yang menguntungkan dan menyenangkan, sehingga Al Quran sangat mendorong dan memotivasi umat Islam untuk melakukan transaksi bisnis dalam kehidupan mereka.
Salah satu ajaran Al Quran yang paling penting dalam masalah pemenuhan janji dan kontrak adalah kewajiban menghormati semua kontrak dan janji (akad), serta memenuhi semua kewajiban. Al Quran juga mengingatkan bahwa setiap orang akan dimintai pertanggungjawabannya dalam hal yang berkaitan dengan ikatan janji dan kontrak yang dilakukannya sebagaimana terdapat dalam Surah  Al Israa’ ayat 34. Hal ini merupakan bukti nyata bahwa Al Quran menginginkan keadilan terus ditegakkan dalam melakukan semua kesepakatan yang telah disetujui.
Oleh karena pentingnya kewajiban menghormati serta memenuhi semua akad (kontrak) dalam kehidupan berbisnis. Maka dari itu saya sebagai penulis mencoba memaparkan bagaimana aplikasi akad dalam bisnis. Yang penjelasannya akan dismapaikan dalam isi esai berikut ini.


II.  POKOK MASALAH
Berikut adalah pokok-pokok masalah yang akan dibahas dalam esai ini :
a.       Apa definisi dari akad?
b.      Bagaimana pandangan Islam terhadap akad?
c.       Bagaimana aplikasi dari akad syariah dalam kehidupan ekonomi ?




III.  ANALISIS
A. Pengertian
Secara etimilogi, akad antara  lain berarti:[1] “ikatan antara dua perkara, baik secara nyata maupun ikatan secara maknawi, dari satu segi maupun dari dua segi.”
Secara umum, pengertian akad dalam arti luas hamper sama dengan pengertian akad dari segi bahasa menurut pendapat ulama Syafi’iyah, Malikiyah, dan Hanabilah yaitu:[2] segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan keinginannya sendiri, seperti wakaf, talak, pembebasan, atau sesuatu yang pembentukannya membutuhkan keinginan dua orang seperti jual-beli, perwakilan, dan gadai.
Pengertian akad secara khususyang dikemukakan oleh ulama Fiqh, antara lain:
Menurut Ibn Abidin, Akad adalah perikatan yang ditetapkan dengan ijab qabul berdasarkan ketentuan syra’ yang berdampak pada objeknya.[3]
Menurut Al Kamal Ibn Human, Akad adalah pengaitan salah seorang yang akad dengan yang lainnya secara syara’ pada segi yang tampak dan berdampak pada objeknya.[4]

B.  Dasar Hukum Akad[5]


Artinya : ”Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (Q.S. An Nisa  : 4)[6]



Artinya : “Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya[146], apabila Telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma’ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak Mengetahui.” (Q.S. Al Baqarah : 232)[7]

C.  Rukun Akad
Menurut pendapat ulama rukun akad ada 3 yaitu [8]
1.      Orang-orang yang akad (”aqid), contoh : Penjual dan Pembeli.
2.      Sesuatu yang diakadkan 9Maqud ”Alaih), contoh : Harga atau yang dihargakan.
3.      Shighat, yaitu Ijab dan qabul

D.  Aplikasi Akad Syariah Dalam Bisnis
Al Quran sebagai pegangan hidup umat Islam telah mengatur kegiatan bisnis secara eksplisit, dan memandang bisnis sebagai sebuah pekerjaan yang menguntungkan dan menyenangkan, sehingga Al Quran sangat mendorong dan memotivasi umat Islam untuk melakukan transaksi bisnis dalam kehidupan mereka.
Al Quran mengakui legitimasi bisnis, dan juga memaparkan prinsip-prinsip dan petunjuk-petunjuk dalam masalah bisnis antar individu maupun kelompok.Al Quran mengakui hak individu dan kelompok untuk memiliki dan memindahkan suatu kekayaan secara bebas dan tanpa paksaan. Al Quran mengakui otoritas deligatif terhadap harta yang dimiliki secara legal oleh seorang individu atau kelompok. Al Quran memberikan kemerdekaan penuh untuk melakukan transaksi apa saja, sesuai dengan yang dikehendaki dengan batas-batas yang ditentukan oleh Syariah. Kekayaan dianggap sebagai sesuatu yang tidak bisa diganggu gugat dan tindakan penggunaan harta orang lain dengan cara tidak halal atau tanpa izin dari pemilik yang sah merupakan hal yang dilarang. Oleh karena itu, penghormatan hak hidup, harta dan kehormatan merupakan kewajiban agama sebagaimana terungkap dalam Surah An Nisaa’ ayat 29.[9]
Pengakuan Al Quran terhadap pemilikan harta benda, merupakan dasar legalitas seorang Muslim untuk mengambil keputusan yang berhubungan dengan harta miliknya, apakah dia akan menggunakan, menjual atau menukar harta miliknya dengan bentuk kekayaan yang lain. Al Quran memberikan kebebasan berbisnis secara sempurna, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Pembatasan dalam hal keuangan dan kontrol pertukaran juga dibebaskan, karena hal itu menyangkut kebebasan para pelaku bisnis. Kompetensi terbuka didasarkan pada hukum natural dan alami, yakni berdasarkan penawaran dan permintaan (supply dan demand).
Akan tetapi perlu diingat bahwa legalitas dan kebebasan di atas, jangan diartikan dapat menghapuskan semua larangan tata aturan dan norma yang ada di dalam kehidupan berbisnis. Seorang Muslim diwajibkan melaksanakan secara penuh dan ketat semua etika bisnis yang ditata oleh Al Quran pada saat melakukan semua transaksi, yakni:[10]
1.      Adanya ijab qabul (tawaran dan penerimaan) antara dua pihak yang melakukan transaksi;
2.      Kepemilikan barang yang ditransaksikan itu benar dan sah
3.      Komoditas yang ditransaksikan berbentuk harta yang bernilai
4.      Harga yang ditetapkan merupakan harga yang potensial dan wajar
5.      Adanya opsi bagi pembeli untuk membatalkan kontrak saat jika mendapatkan kerusakan pada komoditas yang akan diperjualbelikan (Khiyar Ar-Ru’yah)
6.      Adanya opsi bagi pembeli untuk membatalkan kontrak yang terjadi dalam jangka waktu tertentu yang disepakati oleh kedua belah pihak (Khiyar Asy- Syarth)
Meskipun dalam melakukan transaksi bisnis, seorang Muslim harus juga memperhatikan keadilan sosial bagi masyarakat  luas. Ajaran Al Quran yang menyangkut keadilan dalam bisnis dapat dikategorikan menjadi dua, yakni bersifat imperatif (perintah) dan berbentuk perlindungan.
Salah satu ajaran Al Quran yang paling penting dalam masalah pemenuhan janji dan kontrak adalah kewajiban menghormati semua kontrak dan janji, serta memenuhi semua kewajiban. Al Quran juga mengingatkan bahwa setiap orang akan dimintai pertanggungjawabannya dalam hal yang berkaitan dengan ikatan janji dan kontrak yang dilakukannya sebagaimana terdapat dalam Surah  Al Israa’ ayat 34. Hal ini merupakan bukti nyata bahwa Al Quran menginginkan keadilan terus ditegakkan dalam melakukan semua kesepakatan yang telah disetujui.
Kepercayaan konsumen memainkan peranan yang vital dalam perkembangan dan kemajuan bisnis. Itulah sebabnya mengapa semua pelaku bisnis besar melakukan segala daya upaya untuk membangun kepercayaan konsumen.  Al Quran berulangkali menekankan perlunya hal tersebut, melalui ayat-ayat yang memerintahkan umat Islam untuk menimbang dan mengukur dengan cara yang benar dan akurat, dan memperingatkan dengan keras siapa saja yang melakukan kecurangan akan mendapat konsekuensi yang pahit dan getir dari Allah SWT.
Dalam membangun sebuah usaha, salah satu yang dibutuhkan adalah modal. Modal dalam pengertian ekonomi Syariah bukan hanya uang, tetapi meliputi materi baik berupa uang ataupun materi lainnya, serta kemampuan dan kesempatan. Berbagai macam bentuk akad muamalah terdapat dalam Ekonomi Syariah guna membangun sebuah usaha, yakni antara lain sebagaimana yang dipaparkan secara singkat berikut ini.[11]

1.  Al Musyarakah (Kerjasama Modal Usaha)
Al Musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dan masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai  dengan kesepakatan.
Al Musyarakah dalam aplikasi lembaga keuangan Syariah dapat berbentuk:
1.      Pembiayaan Proyek, yaitu pelaku usaha dan Lembaga Keuangan Syariah (selaku pemodal) sama-sama menyediakan dana untuk membiayai proyek tersebut. Setelah proyek selesai, nasabah mengembalikan dana yang digunakan beserta bagi hasil yang telah disepakati di awal perjanjian (ijab-kabul).
2.      Modal Ventura, yakni penanaman modal dilakukan oleh lembaga keuangan Syariah untuk jangka waktu tertentu, dan setelah itu lembaga keuangan tersebut melakukan divestasi atau menjual bagian sahamnya kepada pemegang saham perusahaan.
2.  Al Mudharabah (Kerjasama Mitra Usaha dan Investasi)
Al Mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dengan ketentuan pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola, dan keuntungan usaha dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak.
Aplikasi Al Mudharabah dalam pembiayaan Lembaga Keuangan Syariah adalah berbentuk:
  1. Pembiayaan Modal Kerja, seperti modal kerja perdagangan dan jasa;
  2. Investasi Khusus, disebut juga “mudharabah muqayyadah”, adalah pembiayaan dengan sumber dana khusus, di luar dana nasabah penyimpan biasa, yang digunakan untuk proyek-proyek yang telah ditetapkan oleh nasabah investor (shahibul maal).
3.  Al Murabahah (Jual Beli dengan Pembayaran Tangguh)
Al Murabahah adalah jual-beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati dengan ketentuan penjual harus memberitahu harga produk yang ia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan (margin) sebagai tambahannya
Dalam transaksi Al Murabahah harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1.      Penjual memberitahu biaya modal kepada nasabah;
2.      Kontrak pertama harus sah sesuai dengan rukun yang telah ditetapkan;
3.      Kontrak harus bebas dari riba;
4.      Penjual harus menjelaskan kepada pembeli jika terjadi cacat atas barang setelah pembelian;
5.      Penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian.
Aplikasi Al Murabahah pada Lembaga Keuangan Syariah adalah untuk pembiayaan pembelian barang-barang investasi. Al Murabahah adalah kontrak untuk sekali akad (one short deal), sehingga kurang tepat jika digunakan untuk pembiayaan modal kerja.
4.  Bai’ As Salam (Pesanan Barang dengan Pembayaran di Muka)
Bai’ as salam berarti pemesanan barang dengan persyaratan yang telah ditentukan dan diserahkan kemudian hari, sedangkan pembayaran dilakukan sebelum barang diterima.
Dalam transaksi Bai’ as Salam harus memenuhi 5 (lima) rukun yang mensyaratkan harus ada pembeli, penjual, modal (uang), barang, dan ucapan (sighot).
Bai’ as Salam berbeda dengan ijon, sebab pada ijon, barang yang dibeli tidak diukur dan ditimbang secara jelas dan spesifik, dan penetapan harga beli sangat tergantung kepada keputusan si tengkulak yang mempunyai posisi lebih kuat. Aplikasi Bai’ as Salam pada Lembaga Keuangan Syariah biasanya dipergunakan pada pembiayaan bagi petani dengan jangka waktu yang relatif pendek, yaitu 2-6 bulan. Lembaga Keuangan dapat menjual kembali barang yang dibeli kepada pembeli kedua, misalnya kepada Bulog, Pedagang Pasar Induk, atau Grosir. Penjualan kembali kepada pembeli kedua ini dikenal dengan istilah “Salam Paralel”.

5.  Bai’ Al Istishna’ (Jual Beli Berdasarkan Pesanan)
Transaksi Bai’ al Istishna  merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang melalui pesanan, pembuat barang berkewajiban memenuhi pesanan pembeli sesuai dengan spesifikasi yang telah disepakati. Pembayaran dapat dilakukan di muka, melalui cicilan, atau ditangguhkan sampai batas waktu yang telah ditentukan.
Dalam sebuah kontrak Bai’ al Istishna, pembeli dapat mengizinkan pembuat barang menggunakan sub kontraktor untuk melaksanakan kontrak tersebut. Dengan demikian, pembuat barang dapat membuat kontrak istishna kedua untuk memenuhi kewajibannya pada kontrak pertama. Kontrak seperti ini dikenal sebagai “Istishna’ Paralel”

6.  Al Ijarah (Sewa/ Leasing)
Al Ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa melalui pembayaran sewa tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan (Ownership) atas barang itu sendiri. Dalam perkembangannya kontrak Al Ijarah dapat pula dipadukan dengan kontrak jual-beli yang dikenal dengan istilah “sewa-beli” yang artinya akad sewa yang diakhiri dengan kepemilikan barang oleh si penyewa pada akhir periode penyewaan.
Dalam aplikasi, Al Ijarah dapat dioperasikan dalam bentuk operating lease maupun financial lease, namun pada umumnya Lembaga Keuangan biasanya menggunakan Al Ijarah dalam bentuk sewa-beli karena lebih sederhana dari sisi pembukuan, dan Lembaga Keuangan tidak direpotkan untuk pemeliharaan asset, baik saat leasing ataupun sesudahnya.

7.  Qard Al  Hasan (Pinjaman Kebajikan)
Qard adalah akad yang dikhususkan pada pinjaman dari harta yang terukur dan dapat ditagih kembali serta merupakan akad saling Bantu-membantu dan bukan merupakan transaksi bisnis secara komersial.
Salah satu fungsi Lembaga Keuangan Syariah adalah ikut serta dalam kegiatan sosial, yang diaplikasikan dengan menyalurkan dana dalam bentuk qard dari dana yang dihimpun dari hasil zakat, infaq, dan sadaqah.
Qard al Hasan adalah produk perbankan syariah untuk nasabah yang membutuhkan dana untuk keperluan mendesak dengan kriteria tertentu dan bukan untuk tujuan konsumtif. Pengembalian pinjaman ditentukan dalam jangka waktu tertentu dan dapat dikembalikan sekaligus atau diangsur tanpa tambahan atas dana yang dipinjam.
Dengan demikian, dapat kita lihat, bahwa dalam sistem ekonomi syariah mempunyai produk yang jauh lebih lengkap dari Lembaga Keuangan yang berdasarkan ekonomi Konvensional, karena semata-mata hanya menggunakan akad pinjam meminjam dan mengandalkan pendapatannya dari nilai waktu atas uang yang dipinjamkannya kepada nasabah (debitur) bank tersebut.



IV.  KESIMPULAN

Setelah memaparkan isi dari esai di atas maka saya sebagai penulis dapat menyimpulkan :
1.      Akad adalah segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan keinginannya sendiri, seperti wakaf, talak, pembebasan, atau sesuatu yang pembentukannya membutuhkan keinginan dua orang seperti jual-beli, perwakilan, dan gadai.
2.      Islam memandang akad sebagai sesuatu yang sangat penting tanpa akad yang benar dan shahih sebuah transaksi bisnis tidak menjadi sah dan halal dalam mata agama, karena pentingnya maka akad dijelaskan di dalam Al Qur’an seperti tertuang di dalam surat Al Baqarah 232, An Nisa, dll. Yangf menjadi dasar hukum dari akad itu sendiri di dalam agama Islam.
3.      Aplikasi dari akad syariah dalam bisnis adalah akad dalam bentuk Al Musyarakah (Kerjasama Modal Usaha), Al Mudharabah (Kerjasama Mitra Usaha dan Investasi),  Al Murabahah (Jual Beli dengan Pembayaran Tangguh), Bai’ As Salam (Pesanan Barang dengan Pembayaran di Muka), Bai’ Al Istishna’ (Jual Beli Berdasarkan Pesanan), Al  Ijarah (Sewa/ Leasing), Qard Al Hasan (Pinjaman Kebajikan).





DAFTAR PUSTAKA

1.      Prof. DR. H. Racmat Syafee’i, M.A. 2001.  Fiqih Muamalah. Bandung : CV. Pustaka Setia.
2.      Abdul Majid. 1986. Pokok-Pokok Fiqh Muamalah dan Hukum Kebendaan dalam Islam. Bandung : IAIN SGD.
3.      Hendi Suhendi. 1997. Fiqh Muamalah. Bandung : Gunung Djati Press.
4.      M. Hasbi Ash Shiddiqie. 1997.  Pengantar Fiqh Muamalah. Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra.
5.      Nana Masduki. 1987. Fiqh Muamalah. Bandung : IAIN SGD.
6.      Sayyid Sabiq. 1973. Fiqhus Sunnah. Beirut : Dar Al-Kitab Al-Arabiah.
7.      Sulaiman Rasjid. 1994. Fiqh Islam. Bandung : Sinar Baru Algesindo.
8.      Prof. Drs. H. Masjfuk Zuhudi. 1993. Studi Islam Jilid III Muamlah. Jakarta : PT. Grafindo Persada.
9.      Departemen Agama RI. 2003.  Al Qur’an dan Terjemahnya. Bandung : CV. Diponegoro.
10.  Nana Masduki. 1987. Fiqh Muamalah. Bandung : IAIN SGD.
11.  http://kasei-unri.org/index.php?option=com_frontpage&Itemid=1
12.  http//anakcirenai.blogspot.com/2008/05/makalah-akad.html

[1] Wahaba Al-Juhali, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuh, JUz IV, Damsyik, Dar Al-Fikr, 1989, Hlm. 80
[2] Ibnu Taimiyah, Nazhariyah Al Aqdi, hlm. 18-21, 78.
[3] Ibn Abidin, Radd Al-Mukhtar ‘Ala Dar Al-Mukhtar, Juz II, Hlm. 355.
[4] Al-Kamal Ibn Human, Fath Al-Qadir, Juz V, Hlm. 74
[5] Prof. DR. H. Racmat Syafee’i, M.A,  Fiqih Muamalah, Bandung : CV. Pustaka Setia, 2001. Hlm. 76

[6] Departemen Agama RI,  Al Qur’an dan Terjemahnya, CV. Diponegoro, Bandung . 2003, Hlm. 61
[7] Ibid, hlm. 29
[8] M. Hasbi Ash Shiddiqie.  Pengantar Fiqh Muamalah. Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra. 1997. hlm. 132.

[9] Hendi Suhendi.. Fiqh Muamalah. Bandung : Gunung Djati Press. 1997. hlm. 57

[10] http//anakcirenai.blogspot.com/2008/05/makalah-akad.html
[11] http://mujahidinimeis.wordpress.com/2011/01/24/akad-dalam-perspektif-bisnis/

KONSEP GADAI SYARIAH (AR-RAHN) DALAM PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM DAN FIQH MUAMALAH

I.  LATAR BELKANG MASALAH

Kehadiran lembaga pegadaian di Indonsia bukanlah hal yang asing lagi. Bahkan lembaga ini menjadi sangat populer dikalangan masyarakat (khususnya Jakarta), ketika menjelang lebaran tiba. Sudah merupakan tradisi bagi pemudik di ibukota untuk menggadaikan barang berharga mereka menjelang bulan syawal.
Dengan menitipkan emas, kendaraan bermotor atau barang berharga lainnya sebagai jaminan atas uang yang dipinjam, keinginan untuk bertemu sanak saudara dikampung dengan kerinduan yang sangat pun terobati. Bukan tanpa alasan karena disaat ongkos dan harga kebutuhan untuk oleh-oleh yang semakin menggila yang tidak lagi dapat diatasi oleh gaji maupun pendapatan selama di Jakarta, maka pegadaian merupakan alternatif yang dapat menjawab tersebut.
Sekilas lembaga ini memang terlihat sangat membantu. Dan tentu saja dengan menyuarakan motto “ mengatasi masalah tanpa masalah”-nya, lembaga ini berhasil menafsir dan mencitrakan dirinya di mata masyarakat sangat baik. Akan tetapi, disadari atau tidak ternyata dalam prakteknya lembaga ini belum dapat terlepas dari persoalan.Dengan berkaca mata pada syariat islam, ketika perjanjian gadai ditunaikan terdapat unsur-unsur yang dilarang syariat. Hal ini dapat terlihat dari praktek gadai itu sendiri yang menentukan adanya bunga gadai, yang mana pembayarannya dilakukan setiap 15 hari sekali. Dan tentu saja pembayarannya haruslah tepat waktu karena jika terjadi keterlambatan pembayaran, maka bunga gadai akan bertambah menjadi dua kali lipat dari kewajibannya.Bukan hanya riba, ketidak jelasan (gharar), dan qimar juga ikut serta menghiasi aktifitas lembaga ini. Yang secara jelas terdapat kencenderungan merugikan salah satu pihak.
Memang hal ini tidaklah terlalu diperhatikan oleh masyarakat. Tetapi, ketika mereka terjebak dengan bunga yang membengkak serta ketidak sanggupan uintuk membayar,maka di sinilah masalah letak permasalahan itu muncul.Oleh karena itu, berangkat dari uraian yang telah dikemukakan di atas,maka saya selaku penulis membuat esai ini dengan maksud untuk menganalisa dan memberikan sebuah solusi dengan pendekatan fiqh islam sebagai jawaban atas ketidak syari’an atas praktek pegadaian saat ini.
II.  POKOK-POKOK PERMASALAHAN
Dengan melihat latar belakang di atas maka yang akan menjadi pokok-poko permasalahan yang akan dibahas dalamn esai ini adalah
1.      Apa definisi dari gadai menurut konvensional dan syari’at Islam?
2.      apa yang menjadi dasar hukum gadai konvensional dan syariah?
3.      Bagaimana pandangan syari’at Islam terhadap gadai?

III.  ANALISIS
A.  Pengertian Gadai Konvensional dan Gadai Syariah
1.  Pengertian Gadai Konvensional
Mengutip pendapat Susilo (1999), pengertian pegadaian adalah suatu hak yang diperoleh seseorang yang mempunyai piutang atas suatu barang bergerak. Barang bergerak tersebut diserahkan kepada orang yang berpiutang oleh seorang yang mempunyai utang atau oleh orang lain atas nama orang yang mempunyai utang. Seseorang yang berutang tersebut memberikan kekuasaan kepada orang yang berpiutang untuk menggunakan barang bergerak yang telah diserahkan untuk melunasi utang apabila pihak yang berutang tidak dapat melunasi kewajibannya pada saat jatuh tempo.
Jadi dapat disimpulkan bahwa gadai adalah suatu hak yang diperoleh oleh orang yang berpiutang atas suatu benda bergerak yang diberikan oleh orang yang berpiutang sebagai suatu jaminan dan barang tersebut bisa dijual jika orang yang berpiutang tidak mampu melunasi utangnya pada saat jatuh tempo.Sedangkan pengertian Perusahaan Umum Pegadaian adalah suatu ban usaha di Indonesia yang secara resmi mempunyai izin untuk melaksanakan kegiatan lembaga keuangan berupa pembiayaan dalambentuk penyaluran dana ke masyarakat atas dasar hukum gadai.[1]
2.  Pengertian Gadai Syariah
Gadai Syariah sering diidentikkan dengan Rahn yang secara bahasa diartikan al-tsubut wa al-dawam (tetap dan kekal) sebagian Ulama Luhgat memberi arti al-hab (tertahan).[2] Sedangkan definisi al-rahn menurut istilah yaitu menjadikan suatu benda yang mempunyai nilai harta dalam pandangan syar’a untuk kepercayaan suatu utang, sehingga memungkinkan mengambil seluruh atau sebagaian utang dari benda itu.[3]
Istilah rahn menurut Imam Ibnu Mandur diartikan apa-apa yang diberikan sebagai jaminan atas suatu manfaat barang yang diagunkan.[4] Dari kalangan Ulama Mazhab Maliki mendefinisikan rahn sebagai “harta yang dijadikan pemiliknya sebagai jaminan hutang yang bersifat mengikat“, ulama Mazhab Hanafi mendefinisikannya dengan “menjadikan suatu barang sebagai jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan sebagai pembayar hak tersebut, baik seluruhnya maupun sebagiannya“. Ulama Syafii dan Hambali dalam mengartikan rahn dalam arti akad yakni menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang, yang dapat dijadikan pembayar utang apabila orang yang berhutang tidak bisa membayar hutangnya.[5]
Dalam bukunya: Pegadaian Syariah, Muhammad Sholikul Hadi (2003) mengutip pendapat Imam Abu Zakariya al-Anshari dalam kitabnya Fathul Wahhab yang mendefenisikan rahn sebagai: “menjadikan benda bersifat harta sebagai kepercayaan dari suatu utang yang dapat dibayarkan dari (harga) benda itu bilautang tidak dibayar.” Sedangkan menurut Ahmad Baraja, rahn adalah jaminan bukan produk dan semata untuk kepentingan sosial, bukan kepentingan bisnis, jual beli mitra.[6]
Adapun pengertian rahn menurut Imam Ibnu Qudhamah dalam kitab Al-Mughni adalah sesuatu benda yang dijadikan kepercayaan dari suatu hutang untuk dipenuhi dari harganya, apabila yang berhutang tidak sanggup membayarnya dari yang berpiutang. [7]
Dari ketiga defenisi tersebut dapat disimpulkan bahwa rahn merupakan suatu akad utang piutang dengan menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan, hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil utang.[8]

B.  Landasan Hukum Gadai Konvensional dan Gadai Syariah
1.  Landasan Hukum Gadai Konvensional
Pada awalnya lembaga pegadaian pertamakali didirikan pada tanggal 1 April 1901. Tetapi seiring dengan perkembangan zaman, pegadaian beberapakali berubah status mulai sebagai Perusahaan Jawatan (1901), Perusahaan di bawah IBW (1928),Perusahaan Negara (1960),dan kembali ke perusahan jawatan 1969. baru sekitar tahun 1990 dengan lahirnya PP10/1990 tanggal 10 April 1990, sampai dengan terbitnya PP103 tahun 2000, pegadaian berstatus sebagai Perusahaan Umum dan masuk sebagai salah satu BUMN dalam lingkungan Dep. Keuangan RI. hingga sekarang.Dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 1969 pasal 6, dijelaskan bahwa sifat usaha pegadaian adalah menyediakan pelayanan bagi kemanfaatan umum dan sekaligus memupuk keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan. Sedangkan isi pasal 7,dijabarkan:(1) Turut meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama golonganmenengah ke bawah melalui penyediaan dana atas dasar hukum gadai, dan jasa di bidang keuangan lainnya berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.(2) Menghindarkan masyarakat dari gadai gelap,praktek riba dan pinjaman tidak wajar.[9]
2.  Landasan Hukum Gadai Syariah
Dasar hukum yang digunakan para ulama untuk membolehkannya rahn yakni bersumber pada al-Qur’an (2): 283 yang menjelaskan tentang diizinkannya bermuamalah tidak secara tunai.[10]
Dan Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Aisiyah binti Abu Bakar, yang menjelaskan bahwa Rasulullah Saw pernah membeli makanan dari seorang Yahudi dengan menjadikan baju besinya sebagai jaminan.[11]
Berdasarkan dua landasan hukum tersebut ulama bersepakat bahwa rahn merupakan transaksi yang diperbolehkan dan menurut sebagian besar (jumhur) ulama, ada beberapa rukun bagi akad rahn yang terdiri dari, orang yang menggadaikan (ar-rahn), barang-barang yang digadai (marhun), orang yang menerima gadai (murtahin) sesuatu yang karenanya diadakan gadai, yakni harga, dan sifat akad rahn.[12] Sedangkan untuk sahnya akad rahn, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh para pihak yang terlibat dalam akad ini yakni: berakal, baligh, barang yang dijadikan jaminan ada pada saat akad, serta barang jaminan dipegang oleh orang yang menerima gadai (marhun) atau yang mewakilinya.[13]
Dengan terpenuhinya syarat-syarat di atas maka akad rahn dapat dilakukan karena kejelasan akan rahin, murtahin dan marhun merupakan keharusan dalam akad rahn.  Sedangkan mengenai saat diperbolehkan untuk menggunaan akad rahn, al-Qur’an dan al-Sunah serta ijma ulama tidak menetapkan secara jelas mengenai akad-akad atau transaksi jual beli yang diizinkan untuk menggunakan akad rahn.
Sebagian kecil ulama, sebagaimana yang dikemukakan Ibn Rusdy bahwa mazhab Maliki beranggapan bawa gadai itu dapat dilakukan pada segala macam harga dan pada semua macam jual beli, kecuali jual beli mata uang, dan pokok modal pada akad salam yang berkaitan dengan tanggungan, hal ini disebabkan karena pada shaf pada salam disyaratkan tunai, begitu pula pada harta modal. Sedangkan kelompok Fuqaha Zahiri berpendapat bahwa akad gadai (rahn) tidak boleh selain pada salam yakni pada salam dalam gadai, hal ini berdasar pada ayat yang berkenaan dengan gadai yang terdapat dalam masalah hutang piutang barang jualan, yang diartikan mereka sebagai salam.[14]
Dari bebrapa pendapat di atas dapat diartikan bahwa sebagian ulama beranggapan bahwa rahn dapat digunakan pada transaksi dan akad jual beli yang bermacam-macam, walaupun ada perbedaan ulama mengenai waktu dan pemanfaatan dari barang yang dijadikan jaminan tersebut.
Sedangkan benda Rahn yang digadai, dalam konsep fiqh merupakan amanat yang ada pada murtahin yang harus selalu dijaga dengan sebaik-baiknya, dan untuk menjaga serta merawat agar benda (barang) gadai tersebut tetap baik, kiranya diperlukan biaya, yang tentunya dibebankan kepada orang yang menggadai atau dengan cara memanfaatkan barang gadai tersebut. Dalam hal pemanfaatan barang gadai, beberapa ulama berbeda pendapat karena masalah ini sangat berkaitan erat dengan hakikat barang gadai, yang hanya berfungsi sebagai jaminan utang pihak yang menggadai.

C.  Solusi Mekanisme Operasional Pegadaian dengan Penerapan berdasarkan Prinsip Syariah
Seperti yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya, sungguh merupakan suatu hal yang ironis, ketika terdapat sebuah lembaga keuangan formal ( pemerintah) tidak bisa memperoleh pendapatan yang dapat menunjang kelangsungan hidup perusahaan tersebut. Adapun lembaga pegadaian, seandainya dalam aktivitasnya tidak menggunakan sistem bunga ( memungut bunga dari pinjman pokok ), maka tentunya lembaga tersebut akan mengalami hal yang demikian. Akan tetapi, di sisi lain sistem tersebut sangat memberatkan bagi nasabah, karena pemungutan bunganya yang ditetapkan setiap 15 hari sekali.
Memang hal ini tidaklah terlihat berat jika pinjaman tersebut bersifat kecil, namun jika uang yang dipinjamkan tersebut sangat besar jumlahnya, maka akan sangat memberatkan bagi nasabah.Persoalan ini cukup kompleks. Jika salah satu dimenangkan, maka hal ini akan terlihat tidak adil.  Karena pihak penerima gadai yang saat ini bestatus lembaga pegadaian, akan merasa dirugikan jika dalam operasional usahanya tidak mendapay keuntungan yang akan menunjang kegiatan usahanya. Sedangkan pihak yang menggadaikan diwajibkan membayar berupa bunga setiap 15 harinya, maka hal ini juga akan merugikan pihak penggadai.
Karena barang atau hartanya telah ditahan oleh penerima gadai. Selain itu hal yang menjadi sangat pokok dalam persoalan ini adalah penerapan bunga yang berbuntut riba yang jelas-jelas dilarang oleh syara’.Berangkat dari persolan tersebut, maka berikut sebuah solusi yang bisa dijalankan guna lembaga pegadaian yang merupakan lembaga penolong dapat tetap eksis dalam menjalankan mottonya “ mengatasi masalah tanpa masalah.”
1.  Kategori Barang Gadai
Muhammad Shalikul hadi mengutip pendapat Basyir (2003) bahwa jenis barang gadai yang dapat digadaikan sebagai jaminan adalah semua jenis barang bergerak dab tak bergerak, sehingga barang yang dapat digadaikan bisa semua barang asal memenuhi syarat:
(1)   Merupakan benda bernilai menurut hukum syara’
(2)   Ada wujudnya ketika perjanjian terjadi
(3)   Mungkin diserahkan seketika kepada murtahin.

2.  Pemeliharaan Barang Gadai
Ada perbedaan pendapat para ulama dalam halpemeliharaaan barang gadai. Ulama Syafi’iah dan Hanabilah berpendapat biaya pemeliharaan barang gadai menjadi tanggung jawab pemberi gadai karena barang tersebut merupakan miliknya dan akan kembali kepadanya. Sedangkan para ulama Hanafiah berpendapat bahwa biaya pemeliharaan barang gadai menjadi tanggungan penerima gadai yang mana dalam posisinya sebagai penerima amanat. Berdasarkan pendapat di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa biaya pemeliharaan barang gadai adalah hak rahin dalam kedudukannya sebagai pemilik yang sah. Akan tetapi jika harta atau barang jaminan tersebut menjadi kekuasaan murtahin dan di izinka oleh  maka biaya pemeliharaan jatuh pada murtahin.
Sedangkan untuk mengganti biaya tersebut nantinya, apabila murtahin mendapat izin dari rahin maka murtahin dapat memungut hasil marhun sesuai dan senilai dengan yang telah ia keluarkan. Tetapi apabila rahin tidak mengizinkannya maka biaya pemeliharaan menjadi utang rahin kepada murtahin. Pendapat ini dikutip oleh Muhammad Shalikul Hadi dari Sabiq (2003).[15]Resiko Atas Kerusakan Menurut para ulama Syafi’iah dan Hanabilah berpendapat bahwa murtahin tidak bertanggung jawab atas rusaknya barang gadai jika tidak disengaja. Sedangkan ulama Hanafiah berpendapat bahwa hal tersebut menjadi tanggungan murtahin sebesar harga barang minimum, dihitung mulai waktu diserahkannya barang gadai kepada murtahin sampai barang tersebut rusak.
Shalikul Hadi mengutip Basyir (2003: 84) Pembayaran Atau Pelunasan Hutang GadaiApabila sudah samapai jatuh tempo dan rahin belum membayarkan kembali utangnya maka murtahin boleh memaksa rahin untuk menjual barangnya. Kemudian hasilnya digunakan untuk menebus utang tersebut sedangkan jika terdapat sisa atas penjualan barang tersebut, maka akan dikembalikan kepada rahin.Prosedur Pelelangan GadaiJika ada persyaratan akan menjual barang gadai pada saat jatuh tempo, maka ini diperbolehkan dengan ketentuan:[16]
(1)   Murtahin harus mengetahui terlebih dahulu keadaan rahin
(2)   Dapat memeperpanjang tenggang waktu pemabayaran
(3)   Kalau keadaan mendesak murtahin boleh memindahkan barang gadai kepada murtahin lain dengan izin rahin
(4)   Apabila ketentuan di atas tidak terpenuhi, maka murtahin boleh menjual barang gadai dan kelebihan uangnya dikembalikan kepada rahin.

3.  Pembentukan Laba Pegadaian
Pada bab sebelumnya dijelaskan bahwa pegadaian memperoleh laba dari bunga gadai. Tetapi dari segi kaca mata syariah hal ini dilarang. Tentunya jika bunga gadai dihapuskan maka lembaga pegadaian tidak akan dapat melanjutkan operasionalnya lagi. Sebaliknya jika hal ini diperbolehkan hukum haram atas riba mengikatnya dan tentu saja kerugian salah satu pihak akan terjadi.untuk mengatasi hal tersebut dapat diterapkan sebagai berikut:
(1)  Melakukan transaksi gadai dengan akad Rahn
(2)  Melakukan transaksi gadai dengan  akad Bai’ al Muqoyyadah
(3)   Melakukan Akad al Mudharabah.
(4)  Melakukan dengan akad Qardhul Hasan
Itulah beberapa alternatif yang bisa dijalankan guna mengeliminir praktek riba dalam pegadaian konvensional. Danjuga sebagai solusi atas persoalan yang terdapat dalampegadaian saat sekarang ini, sehingga diharapkan natinya lembaga ini benar-benar telah menjalankan mottonya sebagai lembaga yang mengatasi masalah tanpa menimbulkan masalah.[17]






III. KESIMPULAN

Adapun kesimpulan sekaligus penutup esai ini adalah:
1.      Pengertian gadai menurut konvensional adalah gadai adalah suatu hak yang diperoleh oleh orang yang berpiutang atas suatu benda bergerak yang diberikan oleh orang yang berpiutang sebagai suatu jaminan dan barang tersebut bisa dijual jika orang yang berpiutang tidak mampu melunasi utangnya pada saat jatuh tempo.sedangkan gadai menurut syariat adalah  menjadikan suatu benda yang mempunyai nilai harta dalam pandangan syar’a untuk kepercayaan suatu utang, sehingga memungkinkan mengambil seluruh atau sebagaian utang dari benda itu.
2.      yang menjadi dasar hukum gadai konvensional adalah Undang-undang Nomor 9 Tahun 1969 pasal 6 dan pasal 7, sedangkan dasar hukum gadai syariah adalah al-Qur’an (2): 283 yang menjelaskan tentang diizinkannya bermuamalah tidak secara tunai. Dan Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Aisiyah binti Abu Bakar, yang menjelaskan bahwa Rasulullah Saw pernah membeli makanan dari seorang Yahudi dengan menjadikan baju besinya sebagai jaminan.
3.      Dalam pandangan Islam bahwa pegadaian diperbolehkan oleh syariat. Dan tentunya harus sesuai dengan yang digariskan dalamAl-Qur’an dan As-Sunnah. Seterusnya, bukan tidak mungkin bahwa segala sesuatu yang bersifat konvensional yang ternyata banyak menyimpan persoalan dapat dijawab dengan menerapkan prinsip-prinsip syari’ah. Bunga bukanlah satu-satunya jalan yang tepat untuk mendapatkan keuntungan. Tetapi dengan memberdayakan akad-akad syariah pendapatan atau laba pun dapat diperoleh dan tentunya hasil yang didapatkan pun bersih dan halal.




DAFTAR PUSTAKA

1.      Abdul Ghafur Ansori,. Gadai Sariah di Indonesia, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 2005.
2.      Departemen Agama RI,  Al Qur’an dan Terjemahnya, Bandung : CV. Diponegoro, 2003.
3.      Ghufran Sofiyanah, Mengatasi Masalah Dengan Pegadaian Syariah, Jakarta : RENAISAN Anggota IKAPI, 2005.
4.      Ibnn Rusdy, Bidaya al-Mujtahid, alih bahasa Imam Gazali Said, Jakarta: Pustaka Amini, 1991.
5.      Imam al’ama Ibn Mandur, Lisan al-Arab, Beirut: Muassah Tarikh al-Arabi, 1999.
6.      Imam Bukhari, Sahih Bukhari, Kutub al-Tis’ah (CD).
7.      Muhammad Sholikul Hadi, Pegadaian Syariah, Jakarta : Salemba Diniyah, 2003.
8.      Muhammad Syafi’i Antonio, Bisnis dan Perbankan Dalam Perspektif Islam Dalam Mustafa Kamal (ED) Wawasan Islam dan Ekonomi, Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI, 1997.
9.      Prof. DR. H. Racmat Syafee’i, M.A..  Fiqih Muamalah, Bandung : CV. Pustaka Setia, 2001.
10.  Sabiq, Sayyid, Fiqh us-Sunnah, Muhammad Sa‘eed Dabas, Jamal al-Din M. Zarabozo, translators, Indianapolis, Ind., USA: American Trust Publications, c1985.
11.  Susilo, Y. Sri, dkk. Bank Dan Lembaga Keuangan Lain. Jakarta : Salemba Empat,  1999.
12.  Van Hope, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ikhtiar Baru, 1996.


[1] Susilo, Y. Sri, dkk. Bank Dan Lembaga Keuangan Lain. Jakarta : Salemba Empat,  1999. hal. 132
[2]Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jus III, Beirut: Dar al-Fikr, tt,  hal. 187.
[3] Ibid., hal 187.
[4] Imam al’ama Ibn Mandur, Lisan al-Arab, Beirut: Muassah Tarikh al-Arabi, 1999, hal. 347.
[5] Van Hope, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ikhtiar Baru, 1996, hal.1480.
[6]Muhammad Sholikul Hadi. Pegadaian Syariah, Jakarta : Salemba Diniyah, 2003.
[7] Dr. Muhammad Firdaus NH, dkk. Mengatasi Masalah dengan Pegadaian Syariah, Jakarta : RENAISAN Anggota IKAPI,  2005.
[8]Dr. Abdul Ghofur Anshori, S.H., M.H. Gadai Syariah Di Indonesia, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press Anggota IKAPI, 2005.
[9] Susilo, Y. Sri, dkk. Bank Dan Lembaga Keuangan Lain. Jakarta : Salemba Empat,  1999. hal. 156
[10] Al-Qur’an surat al-Baqarah, ayat 283 yang dapat diartikan sebagai berikut: “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaknya ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)”.
[11] Imam Bukhari, Sahih Bukhari, Kutub al-Tis’ah (CD).
[12] Ibnn Rusdy, Bidaya al-Mujtahid, alih bahasa Imam Gazali Said, Jakarta: Pustaka Amini, 1991, hal. 351.
[13] Sayyid Sabiq, op.cit., hal, 188.
[14] Ibn Rusdy, op.cit., hal, 351.
[15] Muhammad Sholikul Hadi, Op. Ci., hal.17
[16] Muhammad Sholikul Hadi, Op. Ci., hal.85
[17] Muhammad Syafi’i Antonio. 1997. Bisnis dan Perbankan Dalam Perspektif Islam Dalam Mustafa Kamal (ED) Wawasan Islam dan Ekonomi. Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI.
 ***dicopy dr http://mujahidinimeis.wordpress.com/2011/01/24/konsep-gadai-syariah-ar-rahn-dalam-perspektif-ekonomi-islam-dan-fiqh-muamalah/***

RAHN


INVESTASI LOGAM MULIA


AMANAH


ARRUM


PEGADAIAN SYARIAH PALU PLAZA

Budaya perusahaan diaktualisasikan dalam bentuk simbol / maskot dan jargon si "INTAN" yang bermakna:
Inovatif :
1. Berinisiatif, kreatif dan produktif
2. Berorientasi pada solusi

Nilai Moral Tinggi :
3. Taat Beribadah
4. Jujur dan berfikir positif

Terampil :
5. Kompeten di bidangnya
6. Selalu mengembangkan diri

Adi Layanan :
7. Peka dan cepat tanggap
8. Empatik, santun dan ramah

Nuansa Citra :
9. Memiliki sense of belonging
10. Peduli nama baik perusahaan

Makna yang terkandung dalam maskot SI INTAN :
Kepala berbentuk berlian memberi makna bahwa Pegadaian mengenal batu intan sudah puluhan tahun, Intan tidak lebih dari sebuah bongkahan batu yang diciptakan alam dalam suatu proses beratus tahun lamanya. Kekerasannya menjadikan dia tidak dapat tergores dari benda lain. Tetapi dia juga dapat dibentuk menjadi batu yang sangat cemerlang (brilliant) . Dengan kecemerlangan itulah kemudian dia disebut berlian. Karakteristik batu intan itu diharapkan terdapat juga pada setiap insan Pegadaian.

Sikap tubuh dengan tangan terbuka dan tersenyum memberi makna sikap seorang pelayan yang selalu siap memberikan pelayanan prima kepada siapa saja. Rompi warna hijau bermakna memberi keteduhan sebagai insan Pegadaian.